Kertas Kosong

Tidak ada puisi hari ini, tidak ada puisi kemarin, mungkin juga tidak akan ada puisi besuk. Kertas putih tergeletak bersih, suci dari coretan-coretan pedih, hanya debu-debu yang sejenak berbaring di atasnya setelah lelah terbang mengibainya, sesekali angin dari celah genting dan tembok mengajaknya menari.

Memang kubiarkan kosong, setelah sekian waktu berhenti berpuisi. Peran logika terlalu kuat untuk mendesak mencari kebahagiaan yang aku yakini benar-benar fana dan bersifat sementara. Selain juga, aku mulai benar-benar tidak mahir memilih aksara yang tepat untuk dibacakan ke kesunyian.

Kosong; berarti hampa. Tidak ada sesuatu di dalamnya. Sering bertaut suasana dengan kesunyian. Telah lama aku berdiam pada kesunyian, duduk termenung meratapi kehilangan yang aku ciptakan sendiri. Terkadang dengan puisi aku rayakan.

Aku ingin mulai menulis kembali, tidak melulu tentang puisi sepertinya, karena puisiku berbunyi kehilangan-kesunyian jika dilantunkan. Akan aku isi dengan catatan pengembaraanku dan aku baca kembali ketika aku sejenak rehat bersama kopi hitam panas sebelum melanjutkan perjalanan kembali.

Tersesat

— Klaten, 04 Agustus 2020

aku bercermin dan kulihat diriku sebagai syair
ketika kedekatan dengan dirimu begitu intim
bukan dekat yang sebenar-benarnya
bahkan wajahmu pun tak sampai mata ini berjabat
hanya rasa yang begitu tenang dan damai
tanpa sehasta doa yang terabai
kini, diriku tersesat menuju bentuk syair
tubuhku kehilangan makna
kepalaku kehilangan kata-kata indah
tatapanku kehilangan rima
aku tersesat yang sebenar-benarnya

Menjual Keterasingan

— Klaten, 27 Juni 2020

mimpi-mimpi tidur dalam dekapan malam, pulas.
menuju pusat rasa dan tersesat tanpa alur.
dibiarkan liar untuk bertahan hidup.
mantranya adalah membaca ulang waktu pelan-pelan,
tanpa ingin pulang bertualang,
saling menjual keterasingan yang sangat mahal.